Kutemukan Kau dalam Istikharahku
“Mari
Bu.. Ibu mencari pakaian untuk anak Ibuk? Monggo saya bantu..”, kataku
ditengah kesibukan melayani para pelanggan di butik tanteku. Sejak seminggu
lalu aku bekerja di butik milik tanteku ini untuk mengisi waktu luangku selama
liburan bulan Ramadhan. Aku memiliki banyak pengalaman sejak bekerja ditempat
ini. Bagaimana cara melayani pembeli yang memiliki karakter serta emosi yang
berbeda-beda, bagaimana cara “merayu” pembeli agar mereka tertarik pada pakaian
yang kami tawarkan, serta tentunya bagaimana menahan emosiku sendiri. Pada
awalnya memang sangatlah sulit menyesuaikan diri dengan keadaan kerja yang
seperti ini, dimana aku harus berbicara yang sesungguhnya hiperbola
tentang pakaian yang aku tawarkan agar para pengunjung butik tertarik. Sungguh
jauh dari karakter diriku sebenarnya yang mungkin sebagian besar orang tahu
bahwa aku ini sangatlah pendiam, but tidak untuk masalah pengetahuan.
Aku termasuk siswi berprestasi di sekolah dan sering mengikuti beberapa lomba
ilmiah dan olimpiade. Dan orang akan melihat tertegun jika melihat bagaimana
aku yang dianggap pendiam bisa berbicara penjang lebar layaknya sales girl yang
sering datang kerumah, bahkan orang tuaku pun kaget saat mereka mengunjungiku
dan melihat aksiku melayani pembeli. Kata ibu, aku mirip robot yang baru
saja dicharge. Hehehe...
Hari demi hari berjalan seperti biasa, melayani
pembeli dengan persuasif. Hari ini adalah hari terakhir aku bekerja
dibutik tante, karena besok adalah Hari Raya Idul Fitri, jadi hari ini adalah
malam Takbiran. Sedikit ada rasa sedih karena tidak bisa berkumpul dengan
keluarga dimalam yang special ini. Malam ini, butik sangat ramai dan
penuh dengan pembeli hingga para pelayan kerepotan termasuk aku. Entah sudah
berapa kali aku menguap karena rasa lelah yang menghantui. Dan entah berapa
bungkus permen rasa asam yang aku makan untuk mengurangi rasa kantukku.
Sayup-sayup terdengar suara tahlil,takbir dan tahmid dari masjid-masjid sekitar
yang berkumandang dan saling bersahut-sahutan memuji keagungan-Nya. Hati ini
tersentuh mendengar sekaligus mengagumi betapa agungnya Dia hingga seluruh alam
ini ikut memuji-muji nama-Nya. Sambil melayani pembeli sering kali aku
mengikuti suara-suara pujian tersebut dengan suara lirih. Waktu telah menunjukkan
pukul 20.00. Artinya sebentar lagi iring-iringan takbiran akan dimulai.
Sepintas aku melihat dua orang pemuda yang sedang melihat-lihat baju takwa. Aku
menghampirinya, berniat untuk membantunya sekaligus mempromosikan merk terbaik.
“Permisi, ada yang bisa saya bantu?”, kataku
dengan sopan.
“Ow ya, ini mbak saya mencari baju takwa.
Kira-kira mbak bisa membantu saya memilih mana yang cocok untuk saya?”,
sahutnya dengan tanpa melihatku.
“Sungguh sopan sekali lelaki ini, dia tak mau
menatapku karena mungkin dia berfikir aku tidak halal baginya maka tak
sepantasnya dia memandangku”, batinku.
Kedua lalaki ini jika aku perhatikan mereka
adalah lelaki baik-baik. Terlihat dari cara berpakaiannya yang sangat sopan.
Mereka mengenakan sarung dengan baju takwa dan tak lupa dengan kopyah. Namun
entah kenapa perhatianku lebih tertuju pada lelaki yang memintaku memilihkan
baju takwa untuknya. Ia juga mengenakan pakaian ala santri sebuah
pesantren hanya saja ia mengenakan sebuah jaket berwarna coklat yang nampak
cocok dengan tubuhnya.
“Astaghfirullah..”, segera kuberistighfar
karena aku mulai mengagumi lelaki yang bukan muhrimku.
“Ada apa mbak? Ada yang salah dari kata-kata
saya? Ngapunten nggeh Mbak..”, kata lelaki yang mengenakan jaket.
Mungkin aku beristighfar terlalu keras hingga ia mendengarnya.
“Oh tidak Mas, tidak ada yang salah, saya hanya
beristighfar saja”, jawabku cepat agar ia tak tersinggung.
“Subhanallah.. dalam keadaan ramai dan repot
seperti ini mbak masih sempat beristighfar”, jawabnya mencairkan suasana. Namun
aku tak menanggapinya.
“Baju yang ini sepertinya cocok untuk Mas!”,
jawabku mengalihkan pembicaraan.
“Ow nggeh sepertinya bagus dan cocok
untuk saya, bagaimana menurutmu Sul?”, sahutnya sambil meminta pendapat
temannya yang dari tadi sibuk memilih baju pula.
“Nggeh Mas, pilihan yang tepat!”, sahut
temannya setuju.
Sedikit ada rasa lega dalam hatiku, ia menyukai
pilihanku. Aku memilihkannya baju takwa warna coklat muda yang simple
dengan sedikit bordir di dada. Entah mengapa aku merasa baju itu cocok
untuknya.
“Baiklah, saya coba dulu baju ini”, sahutnya
sambil berjalan ke kamar pas.
Setelah beberapa menit, ia kembali.
“Baju ini sangat cocok dan pas dibadan saya,
terima kasih mbak”, sahutnya yang kali ini sedikit memberikan senyum yang
menggetarkan hati.
“Nggeh, sama-sama”, jawabku sambil
terenyum pula.
Setelah membayar ke kasir, ia sempat
menghampiriku yang sedang bercanda dengan pelayan lain sambil merapikan
baju-baju yang berantakan akibat ulah pembeli.
“Terima kasih sudah membantu saya memilih baju
yang cocok”, ucapnya sedikit mengagetkanku.
“Nggeh, sama-sama. Semoga Masnya suka”,
jawabku dengan ramah.
Aku sedikit bingung karena ia dan kawannya
tidak lekas meninggalkan butik. Ia mencari sesuatu di dalam saku jaketnya
dengan wajah kebingungan.
“Permisi, anda mencari sesuatu? Mungkin saya
bisa membantu”, kataku dengan sopan.
“HP saya Mbak, tadi ada di saku tapi kok ndak
ada ya?”, jawabnya sambil celingukan mencari disekeliling.
“Lho, mungkin jatuh di kamar pas saat Masnya
mencoba baju tadi, coba saya lihat sebentar”, kataku sambil berlalu menuju
kamar pas.
Sesampainya di kamar pas aku mencari HP
tersebut, tapi hasilnya nihil. Aku segera kembali ketempat dimana ia menyapaku
tadi.
“Maaf Mas, ndak ada di kamar pas, atau
mungkin jatuh saat perjalanan kemari”, kataku.
“Ya mungkin seperti itu, saya ingin menghubungi
ibu saya yang sedang belanja di supermarket. Saya ingin memberitahukan bahwa
saya sudah selesai dan akan menjemputnya disana”, katanya sambil tetap mencari
HP tersebut yang juga dibantu oleh rekannya.
“Kalau Mas mau, monggo pakai HP saya”, kataku
sambil mengeluarkan Hp dari saku jeansku.
“Ndak Mbak terima kasih, masa dalam semalam
saya dua kali merepotkan Mbak”, katanya menolak.
“Ndak apa-apa Mas, tidak merepotkan, semua
sudah direncanakan oleh Allah. Monggo Mas pakai HP saya”, jawabku seraya
menyerahkan Hpku padanya.
Ia menerimanya dan segera menghubungi ibunya.
“Ini mbak HP nya. Terima kasih banyak dan maaf
sudah merepotkan”, ucapnya seraya mengembalikan HP ku.
Aku hanya membalas dengan senyum. Lalu ia
segera pergi meninggalkan butik.
***
Hari ini adalah hari yang sangat dinanti-nantikan seluruh umat Islam sedunia.
Pada hari ini seluruh umat Islam merayakan kemenangan setelah melaksanakan
puasa selama satu bulan penuh.
Pagi-pagi sekali aku dan keluargaku
bersama-sama berangkat ke masjid untuk melaksanakan sholat Idul Fitri.
Sepulang dari masjid, seperti biasa kami
sungkem dan saling meminta maaf. Air mata tak tertahankan, betapa banyak
kesalahan yang aku perbuat terutama kepada orang tuaku. Entah berapa kali aku
menyakiti hati mereka. Pada hari ini semua kesalahan dilebur dengan harapan
kita menjadi manusia yang suci kembali, dan siap menjalankan ibadah lebih baik
lagi setelah hari ini.
Sejak semalam aku sama sekali tidak menyentuh
Hpku. Aku segera membukanya dan ternyata telah menumpuk pesan yang memenuhi
inboxku. Semua berasal dari teman-teman dan sahabatku. Namun ada nomor yang tak
kukenal. Segera kubuka pesan tersebut dan isinya..
..Assalamu’alaikum..Mbak, terima kasih atas bantuannya
kemarin telah memilihkan baju yang cocok untuk saya. Baju itu sekarang sedang
saya kenakan dan terlihat cocok kata ibu saya. Dan terima kasih pula atas HP
yang Mbak pinjamkan kepada saya. Maaf sudah banyak merepotkan. Minal aidzin wal
faidzin...
Aku sempat berfikir siapa orang yang mengirim
pesan ini. Setelah ku ingat-ingat, ternyata lelaki yang semalam datang ke butik
dan kupilihkan baju serta kupinjami Hpku.
Segera kubalas pesan itu..
..Wa’alaikumsalam..Nggeh Mas sama-sama. Sudah
kewajiban saya sebagai pelayan untuk membantu pembeli. Minal aidzin wal
faidzin..
Setelah membalas pesan tersebut, aku segera
bersiap-siap untuk berangkat kerumah nenek dan berkumpul dengan sanak keluarga
yang lain.
***
Hari kedua Idul Fitri, teman-temanku datang. Saat kami sedang bergurau,
tiba-tiba Hpku berdering. Segera aku mengambilnya dan ternyata panggilan masuk
dari nomor yang tak ku kenal. Aku segera mengangat telephon yang masuk.
“Assalamu’alaikum..Maaf ini siapa?”, tanyaku.
“Wa’alaikumsalam..Saya Furqan, yang beberapa
hari lalu ke butik dan meminjam Hp panjenengan”, suara dari jauh sana.
Aku sempat terdiam tapi segera menjawabnya.
“Oh. Maaf nomornya belum saya simpan karena
belum tahu nama Masnya”, jawabku.
“Perkenalkan, nama saya Muhammad Furqan
Al-Farizi, biasa dipanggil Furqan. Kalau boleh tahu nama Mbaknya siapa?”,
pertayaannya yang sedikit mengagetkanku.
“Ehm... nama saya Zahra... Em.. Zahra Syifa’ul
Qolbi”, jawabku.
“Mbak Zahra sedang sibuk? Maaf kalau saya
mengganggu”, ucapnya.
“Tidak apa-apa, saya sedang berkumpul dengan
teman-teman saya”, jawabku.
“Baiklah Mbak lanjutkan dulu saja, maaf
jika saya mengganggu. Lain waktu saya hubungi lagi kalau Mbak Zahra tidak
keberatan”.
“Oh nggeh tentu saja tidak”, jawabku.
Entah setan apa yang mempengaruhiku sehingga dengan mudahnya aku berkata tidak
keberatan jika dia menghubungiku.
“Baiklah, terima kasih. Assalamu’alaikum..”
“Wa’alaikumsalam”, jawabku dengan sedikit
bingung tentang apa yang baru saja terjadi. Namun tak lama kemudian aku
bercanda kembali dengan teman-temanku. Mereka meledekku bahwa aku telah
memiliki kekasih namun merahasiakannya dari mereka. Tapi kemudian aku
menjelaskan kejadian sebenarnya.
***
Hari demi hari berjalan seperti biasa. Dan saat ini aku telah masuk ke sebuah universitas
swasta di Malang. Aku memilih Jurusan Sastra Inggris karena aku ingin sekali
memperdalam bahasa inggrisku. Namun perkuliahan dimulai bulan depan sehingga
aku menikmati sekali liburanku kali ini.
Hubunganku dengan lelaki itu juga semakin
dekat. Ia sering menghubungiku. Dan entah mengapa akupun senang. Mungkin karena
ia tidak seperti lelaki lain yang selalu berkata gombal kepada wanita. Dia apa
adanya, dan yang paling membuatku senang, dia selalu mengingatkan tentang
ibadahku. Sholatku selalu ia perhatikan, bahkan saat telephon pun kami tak
pernah membicarakan hal yang jauh dari agama. Ia selalu menasihatiku dengan
cara yang tidak seperti mengguruiku. Sejak mengenalnya, aku merasa kualitas
ibadahku jauh lebih baik dari sebelumnya. Aku merasa lebih dekat dengat Sang
Khalik.
Itulah yang membuatku senang berteman
dengannya, ya..teman.
Hubungan pertemanan kami terus berlanjut hingga satu tahun, ya malam ini adalah
malam takbiran. Malam dimana Allah mempertemukan kami. Namun aku sudah tidak bekerja
lagi di butik tante. Malam ini aku berkumpul bersama keluargaku, menghabiskan
malam-malam dimana semua umat Islam memuji dan memuja keagungan-Nya.
Sedikit aku teringat satu tahun yang lalu saat
pertama kali aku mengenalnya, lebih tepatnya bertemu dengannya. Teringat
senyumannya dan pakaian yang ia kenakan yang sempat membuat hatiku terpikat.
“Astaghfirullah...”, ucapku segera. Aku tidak boleh berlebihan seperti ini,
pertemuanku dengannya hanya suatu kebetulan dan tidak boleh mengganggu
fikiranku. Sesaat kemudian, Hpku berdering, rupanya ada pesan yang hinggap
di inboxku.
..Assalamu’alaikum..dek Zahra.. Minal aidzin
wal faidzin.. ucapan yang sama kuucapkan satu tahun yang lalu. Tidak terasa
sudah satu tahun kita berteman, saling mengingatkan tentang ibadah dan
kehidupan.
Setelah setahun ini, apakah hubungan kita akan
hanya sebatas teman? Tidak inginkah dek Zahra mengikat hubungan kita dalam
Sunnah Rasulullah?...
Maaf jika aku lancang berkata seperti ini, tapi
memang inilah kenyataannya. Aku mencintaimu, aku terpikat akan kecantikan
akhlakmu. Aku mencintaimu bukan karena parasmu, tapi aku mencintaimu karena
Allah..
Itulah message darinya yang sempat
membuatku menitikkan air mata.
“Subhanallah...inikah maksud pertemuan dimalam
takbiran itu Ya Rabb...”, batinku.
Aku tidak segera me-reply pesan darinya.
Aku tidak tahu apa yang harus kutulis. Aku sedih namun juga bahagia. Aku takut
karena aku rasa aku tak pantas untuknya, tapi aq tak tahu mengapa aku bahagia.
***
Allahu Akbar..Allahu Akbar..Allahu Akbar... Laa ilaaha ilallahu Allahu Akbar...
Allahu Akbar walillahilham.....
Seruan-seruan untuk memuji-Nya bergema
dimana-mana. Ya, pagi ini adalah hari raya Idul Fitri. Aku segera bergegas
berangkat ke masjid bersama keluargaku. Seapulang dari masjid, kami
melaksanakan tradisi saat hari lebaran yakni saling memaafkan dan
bersilaturrahim.
Selesai bersilaturrahim, aku segera melihat
Hpku, entah kenapa aku sangat bersemangat. Mungkin aku mengharapkan pesan
darinya. Namun harapanku pupus. Tak ada satupun pesan darinya. Yang ada
hanyalah dari teman-teman dan sahabatku. Entah mengapa aku merasa sedikit
kecewa. Aku fikir, apakah karena pesannya tak kubalas semalam, sehingga ia
mengira aku tak menghiraukan perasaannya. Daripada aku su’udzan, segera kuhubungi
dia. Namun sekali lagi aku kecewa, nomornya tak aktif. Aku berpikir positif
dengan menganggap bahwa ia sedang sibuk.
Hari ketiga Idul Fitri. Ia belum juga menghubungiku. Nomornya juga tidak aktif.
Mungkin dugaanku benar, mungkin ia menganggap aku tak menghiraukannya sehingga
ia menjauh dariku. “Ya Rabb, apa yang harus aku perbuat..Aku telah
menyakitinya”, batinku.
Hari kelima, keenam dan ketujuh ia belum juga
menghubungiku. Pupus sudah harapanku. Aku tak tahu apakah ini yang dinamakan
patah hati. Aku hanya bisa diam dan menyerahkan semua pada Allah.
Malam harinya aku bangun untuk Qiyamul Lail.
Aku bersimpuh dihadapan-Nya memohon ampunan atas segala dosaku serta orang
tuaku. Sempat kusebut namanya saat aku memanjatkan do’a. Kemudian aku berdzikir
hingga tertidur di atas sajadahku.
Keesokan harinya, aku menemui ustadzahku dan menceritakan apa yang aku alami
sehingga mengganggu fikiranku. Beliau menyuruhku melaksanakan shalat Istikharah
untuk mendapatkan petunjuk Allah apakan memang akulah serpihan tulang rusuknya.
Malam harinya, kulaksanakan apa yang
diperitahkan Ustadzahku. Dalam shalat tersebut kumemohon pada-Nya agar diberi
petunjuk apakah ialah jodohku dan apa yang harus aku lakukan. Setelah berdoa
untuk kedua orang tuaku, barulah aku berdo’a sesuai apa yang meresahkan hatiku.
“Ya Rabb..Hamba yang penuh dosa ini, memohon
petujukmu. Hamba mohon tunjukkanlah pada hamba apakah lelaki itu yang Kau
takdirkan untukku. Jika memang ia jodohku, aku mohon mudahkanlah segala urusan
kami untuk menjalankan Sunnah Rasul-Mu. Namun jika ia bukan ditakdirkan
untukku, kumohon berikan kelapangan hati bagi kami. Berikan pula ia jodoh yang
shalehah, serta berikanlah aku jodoh yang sholeh dan lebih baik darinya, yang
dapat membawaku menuju surga-Mu..Amiin...”
Tak terasa air mataku berjatuhan saat
memanjatkan do’a tersebut. Segera kuusap air mataku dan aku lanjutkan dengan
berdzikir hingga aku tertidur kembali.
Dalam tidurku tersebut aku bermimpi bertemu
kakekku yang telah wafat. Ia membawa sebuah telur dan mendekatiku. Aku terkejut
dan segera mencium tangannya. Kusampaikan bahwa keluarga sangat merindukannya.
Kutanyakan pula apakah ia bahagia disana, ia hanya tersenyum. Kemudian kakek
memberikan telur yang ada ditangannya kepadaku.
“Telur apa ini Kek?”, tanyaku dalam bahasa
Jawa.
“Kupas saja telur itu, nanti kamu akan tahu”,
jawab kakek.
Segera kukupas telur yang sudah matang itu. Aku
terkejut sekali karena saat telah berada di telapak tanganku, telur itu seakan
membawaku kedunia lain. Disuatu tempai yang hijau rimbun. Aku dan kakek duduk
di sebuah bangku di bawah pohon yang rindang. Udaranya begitu sejuk.
Dari kejauhan sayup-sayup terdengar suara
balita menangis, semua tertutup kabut sehingga mataku sulit menemukan asal
suara itu. Kemudian tampaklah seorang anak laki-laki berusia sekitar 3 tahun.
Ia menangis sambil memanggil ibunya.
“Ibu..Ibu...”, suaranya yang tidak terlalu
jelas karena mungkin faktor usia sehingga ia belum dapat melafalkan kata-kata
dengan sempurna. Sesaat kemudian muncul seorang wanita separo baya yang
menghampirinya. Ia mengenakan hijab warna hijau dengan kerudung warna kuning
yang nampak cocok dengannya. Ia segera menggendong anak tersebut, dan aku yakin
pastilah ia ibunya. Anak tersebut berhenti menangis karena telah berada dalam
dekapan ibunya. Namun betapa terkejutnya aku, karena saat ia membalikkan badan
nampaklah wajahnya yang mirip bahkan menyerupai aku. Aku benar-benar bingung
menyaksikan semua ini. Aku serasa menonton film dimana pemerannya adalah aku sendiri.
“Kakek, siapa wanita itu? Mengapa wajahnya
mirip denganku?”, tanyaku pada kakek dengan penuh kebingungan.
“Itu memang kamu, itu adalah perwujudanmu
dimasa depan.”, jawab kakek dengan tenang.
“Aku? Lalu siapa anak itu? Mengapa ia
memanggilku Ibu?”, tanyaku semakin bingung.
“Ia anakmu, tentu saja ia memanggilmu Ibu”,
jawab kakek dengan senyumannya.
Belum sempat aku bertanya lagi, datanglah
seorang lelaki yang mengenakan sarung hitam dan baju taqwa putih, lengkap
dengan kopyah hitam. Terlihat sangat berwibawa. Ia mendatangi wanita dan anak
tersebut.
“Ayah..”, suara tersebut mengagetkanku. Anak
yang digendong oleh wanita itu memanggil lelaki itu dengan sebutan ayah. Siapa
dia? Apakah ia jodohku?
Lelaki itu terus menghampiri lalu menggendong
putranya. Saat ia membalikkan badan, aku kembali terkejut.
“Masyaallah, Mas Furqan.”, ucapku terkejut
semakin bingung.
“Ada apa nduk? Kamu mengenalnya? Apakah
Allah sudah mempertemukan kalian?”, tanya kakek.
“Nggeh Kek, saya mengenalnya sejak satu
tahun yang lalu. Tapi apa maksud dari semua ini Kek? Apakah ia jodoh yang Allah
takdirkan untukku?”, pertanyaanku yang bertubi-tubi membuat kakekku hanya
tersenyum.
“Nduk, kamu lihat sendiri kan wanita
yang ada disana itu adalah kamu, dan anak itu adalah anakmu. Dan sudah pati lelaki
itu ayah dari anakmu karena anak itu memanggilnya Ayah. Semoga Allah memudahkan
urusan kalian”. Kata-kata itulah yang terakhir kakek ucapkan sebelum akhirnya
aku terbangun karena ada tangan yang menggerak-gerakkan lenganku. Saat kubuka
mata, ternyata ibuku.
“Nduk, pindah ke tempat tidur sana,
nanti badanmu pegal-pegal kalau tidur seperti ini”, suara lembut ibu yang
kembali menyadarkanku bahwa yang kualami tadi adalah mimpi.
***
Sejak mimpi itu aku sering melamun dan memikirkan hal ini. Aku tak
menceritakannya kepada orang tuaku karena kurasa belum waktunya. Beberapa hari
ini aku selalu teringat Mas Furqan. Namun aku berusaha mengalihkan fikiranku
dengan menulis cerpen.
“Assalamu’alaikum..”, suara didepan pintu.
Aku segera menuju keruang tamu. Malam itu aku
dan keluarga sedang bersantai dan menonton televisi.
“Wa’alaikumsalam.. Mas yang...”, kata-kataku
tak kulanjutkan. Aku terkejut karena yang ada dihadapanku adalah Mas Furqan.
“Nggeh, saya Furqan. Dan ini teman saya
Samsul Arifin. Masih ingatkan? ”, jawabnya mengagetkanku.
“I..iya.. Mas kok tau rumah saya?”, tanyaku
terbata.
“Ya tahu saja. Mungkin hati saya yang menuntun
kemari. Ehmm..jadi kita bicara di depan pintu seperti ini?”, jawabnya setengah
bergurau .
“Eh..maaf. Silahkan masuk.”
Kemudian mereka masuk dan segera duduk di sova
merahku. Kami duduk saling berjauhan. Untuk beberapa saat kami terdiam. Aku tak
tahu apa yag harus aku katakan. Mereka berdua juga diam. Hingga Hp yang aku
genggam berdering.
“Aduuhh siapa sih mengirim pesan disaat situasi
genting seperti ini”, batinku.
Segera kulihat dan ternyata satu pesan telah
hinggap di inboxku. Setelah kulihat ternyata pesan darinya.
..Kok diam dek? Apakah kehadiran saya
mengganggu? Jika memang kehadiran saya membuat dek Zahra sedih, saya pamit
saja..
Begitulah pesan darinya.
Lalu segera kubalas secara langsung.
“Maaf, bukan seperti itu. Saya hanya bingung
bagaimana Mas Furqan dan Mas Samsul mengetahui rumah saya. Dan lagipula
beberapa hari ini nomor Mas Furqan tidak aktif. Saya fikir silaturrahim kita
telah putus.”, jawabku panjang lebar.
“Baiklah, kami beberapa hari ini mencari
informasi dari teman-teman dek Zahra di butik. Merekalah yang memberitahukan
alamat rumah ini pada kami. Maaf kalau kedatangan kami mengejutkan. Kami hanya
ingin silaturrahim. Dan untuk beberapa hari lalu saya tidak menghubungi panjenengan
itu memang sengaja, agar dek Zahra dapat memikirkan dulu tentang apa yang saya
katakan minggu lalu. Kalau bisa saya ingin jawabannya sekarang.”,jawabnya.
“Ehm.. maaf saya belum bisa menjawab
sekarang.”, jawabku dengan menundukkan pandanganku.
“Ya sudah tak apa, saya akan menunggu lagi,
semoga Allah mudahkan urusan kita.”, ucapnya seraya tersenyum.
“Amiin..”, jawab temannya.
Aku hanya bisa membalas senyumannya.
Selanjutnya kami membicarakan hal di luar perasaan. Walaupun sebenarnya aku
masih merasa tak enak. Pukul 19.40 mereka berpamitan pulang. Sepulang mereka
dari rumahku, aku masuk ke kamar dan menangis disana. Aku merasa telah
menyia-nyiakan petunjuk dari Allah. Namun aku melakukan ini bukan tanpa alasan.
Aku tidak hidup sendiri di dunia ini. Aku memiliki orang tua yang pastinya
harus aku mintai pendapat karena aku butuh Ridla dari beliau.
Malam ini aku kembali menengadahkan tanganku
kepada-Nya seraya memohon petunjuk apa yang harus aku lakukan. Aku hanya
mengharapkan yang terbaik untuk ketiga pihak, yaitu aku, dia dan keluargaku.
***
Sebulan setelah Idul Fitri, semua berjalan seperti semestinya. Aku mulai
disibukkan dengan jadwal-jadwal kuliah serta tugas yang mulai menghampiri.
Semua aktivitasku ini rupanya mampu mengalihkan perhatianku darinya. Aku jarang
sekali membalas pesan bahkan menerima telephon darinya. Entah mengapa aku
merasa lelah dan ingin fokus pada studyku. Hingga akhirnya suatu malam
ia mengirim pesan kepadaku. Pesan yang sidikit mengecewakanku.
..Assalamu’alaikum ya ukhti... Bagaimana
kabarnya? Lama sekali tak kudengar suara ukhti yang senantiasa menjadi obat
kegalauan hati. Seperti nama ukhti, Syifa yang artinya pengobat. Mungkin obat
itu bukanlah untukku. Setelah sebulan lebih aku menanti jawaban dari ukhti
ternyata beginilah, tak ada jawaban. Entah penerimaan atau penolakan. Dan aku
ambil kesimpulan mungkin ukhti bukanlah pemilik serpihan tulang rusukku. Namun
yang harus ukhti ketahui, pernyataanku sebulan yang lalu itu bukan hanya dari
keinginanku sebagai manusia yang memiliki kodrat mencintai lawan jenis. Tapi
karena istikharahku. Untuk itu aku mohon ukhti juga melaksanakan hal yang sama
denganku. Biarlah istikharah ukhti yang menjadi petunjuk bagi kita. Semoga
Allah mudahkan urusan kita. Amiin..
Aku menitikkan air mata membaca pesan darinya.
Akhirnya aku putuskan untuk menceritakan yang sebenarnya.
..Wa’alaikumussalam ya akhina Furqan.. Maaf
beberapa minggu ini saya sibuk dengan perkuliahan dan tugas yang menumpuk. Tapi
insyaallah saya tidak lupa akan pernyataan akhi. Sebenarnya setelah akhi
menyatakan perasaan akhi kepada saya, saya telah melaksanakan shalat
istikharah. Saya mendapat petunjuk bahwa akhilah jodoh saya. Tapi maaf saya
belum bisa menjawabnya karena saya dilanda kebingungan. Disisi lain saya tentu
ingin menjalankan Sunnah Rasulullah, tapi disisi lain orang tua saya
menginginkan saya menuntut ilmu hingga lulus S1. Saya bingung, siapakah yang
harus saya dahulukan. Karena ridla orang tua adalah Ridla Allah. Saya tidak
ingin durhaka dengan memaksakan kehendak saya. Mohon akhi mengerti. Saya tidak
meminta akhi untuk menanti saya hingga saya lulus. Akhi boleh mencari pengganti
saya. Namun perlu akhi ketahui, saya juga mencintai akhi karena Allah..
Itulah jawabanku atas pesannya. Beberapa menit
kemudian Hpku berdering kembali. Rupanya ia membalas pesanku.
..Subhanallah.. Alhamdulillah.. Senang sekali
rasanya hati ini membaca pesan dari dek Zahra. Sempat harapan saya pupus tapi
sekarang mulai mekar kembali. Memang namamu seindah akhlakmu dek. Kaulah
pengobat hatiku. Kaulah air yang membasahi keringnya jiwaku. Insyaallah aku akn
bertahan menantimu, dan aku harap kaupun begitu. Kita serahkan semua pada
Allah. Tak ada yang kebetulan di dunia ini, Aku yakin inilah hikmah pertemuan
kita malam itu. Kita saling mendo’akan saja. Sungguh dek, aku sangat senang,
aku langsung bersujud syukur setelah membaca pesan darimu. Semoga Allah
memudahkan niat suci kita. Amiin.. Anna uhibbuka fillah..
Pesan itulah yang menjadi harapan serta
semangat tersendiri bagi kami. Dan hingga saat ini, setelah 2 tahun kami saling
mengenal kami masih saling menjaga diri serta hati. Ia selalu menasihatiku,
mengingatkanku saat aku lalai dalam melaksanakan ibadah serta selalu membangunkanku
untuk Qiyamul Lail setiap malam, dengan harapan Allah melancarkan serta
memudahkan niat suci kami untuk melaksanakan Sunnah Rasul-Nya.
Terima kasih Ya Rabb telah mempertemukan kami.
Terima kasih telah menghadirkannya dalam Istikharahku.
***
TAMAT
Oleh: Indiani Eka
Permatasari