Minggu, 31 Januari 2016

Cerpen



Pahit Manisnya menjadi Santri

Bagi teman-teman yang pernah merasakan kehidupan di pesantren tentunya terkadang merasakan indahnya hidup di pesantren. Ada suka dan ada duka, hidup berjama'ah dengan teman-teman. Merasakan indahnya kebersamaan, makan bersama, tidur bareng, sholat berjamaah, belajar bareng dan seabrek kegiatan yang sudah ditetapkan oleh pesantren. Ketika pagi menjelang jam 03.00 kegiatan pesantren sudah mulai muncul aktivitasnya, ada yang sholat tahajjud, ada yang sudah mandi, ada yang tadarrus , belajar, bahkan masih ada yang tidur, dan berbagai macam aktivitas yang layakynya dilakukan oleh seorang santri. Memang kehidupan dipesantren dapat membuka wacana seseorang tentang bagaimana seharusnya menjalani kehidupan tanpa keegoisan semata, ketika ada sahabatnya sakit bersama-sama membantu, mencucikan baju, menjaganya sampai merawatnya hingga sembuh. Subhanallah, benar-benar indah bukan??
Ketika shubuh menjelang, bersama-sama sholat shubuh berjamaah, kemudian dilanjutkan dengan tadarrus , lantas piket membersihkan pesantren agar nampak indah dan bersih. Selepas itu mandi dan ke sekolah. Ketika sore menjelang, kembali kita menyibukkan diri untuk tetap mengingat Allah, sholat magrib, tahsin, kajian dan belajar. Akan tetapi, terasa lebih indah apabila semua itu dilaksanakan semata-mata untuk mencari ridho Allah. Seberapapun amal kita apabila dilakukan dengan niat "tabarruj" maka tidak ada berkahnya. Bukan pahala yang didapat. Satu hal yang membuat aku menjadi bertahan dipesantren adalah sikap zuhud dan kekeluargaannya yang bikin aku betah. Sewaktu pertama kali aku tinggal dipesantren benar-benar dech.... Serasa berada di "dunia lain", aku yang tak biasa makan bersama dalam 1 piring, aku yang tak biasa mencuci baju sendiri, aku yang tak biasa mengepel lantai,nyapu, buang sampah,membersihkan kamar mandi (piket), merasakan ini benar-benar sebuah paksaan.
 Tetapi setelah 1 tahun aku tinggal dipesantren aku baru bisa merasakan betapa nikmatnya hidup di pesantren. Seakan selalu mengingat akhirat dan berlomba-lomba dalam kebaikan. Insya Allah.... Namun, dibalik semua itu tidak semua anak yang dimasukkan oleh orang tuanya ke dalam pesantren adalah anak yang benar-benar baik, ada juga anak yang memang "nakal" dan tujuan orangtuanya memasukkan ke dalam pesantren adalah agar  dapat terwarnai oleh teman-temannya yang sholeh-sholehah. Bukan malah terwarnai santri “nakal” akan tetapi kadang-kadang kehadiran santri "bengal" ini justru mewarnai teman-temannya agar menjadi "nakal" seperti dirinya. Dan aku merasakannya di dunia pesantren ini, ada aja ulah santri yang terkadang hampir-hampir saja aku ikut terjerumus. tanpa rasa takut ada aja yang dengan bangga menyanyikan lagu-lagu yang "kurang sopan" seperti reggae dan lain-lain. Ada yang suka jailin  duh.... duh..... cape dah. Adalagi yang selalu saja menyalahkan teman-temannya, menganggap dirinya paling benar, ada juga yang merasa dirinya paling cantik, paling imut dan paling bersih padahal kalau kita berkunjung kerumahnya aja ups... kotor bin kumuh. Ada lagi yang selalu mencari-cari kesalahan oranglain..... ada yang cuek, ada yang suka membuang sampah sembarangan (bisa-bisanya makan lantas sampahnya diletakkan disamping kasurnya ughhh), yang lebih parah dunia pesantren identik dengan kudis dan "kutu" kalau satu santri udah kena pasti dijamin yang lain akan kena waduh ngeri.......... ada -ada saja kejadiannya. yah inilah kehidupan pesantren kita harus bisa membedakan yang baik dan yang benar. Karena semua itu adalah proses kita sebagai manusia dalam hidup. Salam Pesantren :)

Oleh : az_izah



Artikel



NILAI SEBUAH WAKTU



Untuk memahami nilai SATU TAHUN, tanyalah kepada murid yang tidak naik kelas.

Untuk memahami nilai SATU BULAN, tanyalah kepada ibu yang melahirkan bayi premature.

Untuk memahami nilai SATU MINNGU, tanyalah kepada editor sebuah Koran mingguan.

Untuk memahami nilai SATU JAM, tanyalah seseorang yang hendak ditemui kekasihnya.

 Untuk memahami nilai SATU MENIT, tanyalah kepada orang yang ketinggalan kereta api.

Untuk memahami nilai SATU DETIK, tanyalah kepada orang yang lolos dari kecelakaan.

Untuk memahami nilai SATU MILIDETIK, tanyalah kepada orang yang memenangkan medali perak dalam olimpiade.

Hargailah setiap detik yang kau miliki! Ingatlah, waktu tidak menungu siapapun. Kemarin adalah sejarah, esok adalah misteri, hari ini adalah karunia.

Puisi



Aku Mungkin Tak pernah Lagi

Aku mungkin takkan melihat hari esok
Tak ada jaminan
Dan semua yang terjadi kemarin
Menjadi bagian dari sejarah
Meramal masa depan, Aku masih bingung
Mengubah masa lampau, aku tak mampu
Milikku hanya hari ini
Yang kelak hanya menjadi kenangan
Aku harus bijak memanfaatkan saat-saatku
Karena itu semua akan berlalu
Lalu lenyap selamanya
Menjadi bagian masa lalu
Aku harus curahka kasih sayangku
Membantu bangkit  mereka yang jatuh
Menjadi teman bagi yang kesepian
Membuat hidup mereka sempurna
Kejahatan yang kulakukan hari ini
Tak dapat kubatalkan
Persahabatan yang gagal kubina
Mungkin tak pernah dapat kuusahakan
Aku mungkin tak punya kesempatan lain
Tuk bersujud mengucap do’a
Tuhan………!
Dengan rendah hati ku bersyukur
 Atas hari ini yang kau karuniakan
krpadaku

Selasa, 26 Januari 2016

Tips Meraih Kesuksesan



Meraih Kesuksesan Dengan Kesabaran


Tidak ada jalan yang terlalu panjang bagi orang yang melangkah tanpa tergesa-gesa dan tidak ada penghargaan yang dapat diraih bagi orang yang mempersiapkan diri untuk mendapatkannya dengan kesabaran.
Dalam hidup ini banyak tantangan yang harus dihadapi dengan kesabaran. Bagi mereka yang tidak sabar, maka siap-siap untuk dikecewakan oleh tindakannya itu. Kesabaran adalah kata yang indah dan mudah diucapkan, tapi tidak banyak orang yang mampu melakukannya. Dan derajat kesabaran inilah sesungguhnya yang membedakan hidup orang sukses dengan orang yang gagal dalam aktifitas hidupnya. Termasuk didalamnya berlaku juga pada dunia kerja dimanapun. Terkait dengan ini pantas saja seorang bijak pernah mengatakan, orang sukses adalah orang yang terus mencoba, meskipun telah banyak mengalami kegagalan. Ia memandang penghidupan sebagai peluang untuk mencapai kesusesan.
Dengan kata lain, didunia ini tidak ada sesuatu kesuksesan apapun yang tidak dapat diraih oleh orang-orang yang mampu mempersiapkan dirinya secara baik untuk mendapatkannya dengan penuh kesabaran. Hal ini dapat kita buktikan dari kisah-kisah atau perjalanan hidup orang-orang yang sukses. Disini dapat dipastikan kita akan menemukan nilai-nilai kesabaran didalamnya.
Langkah selanjutnya, setelah jiwa sabar itu bersemayam dalam diri dan perilaku anda, maka langkah sukses itu harus didukung pula dengan apa yang sebenarnya mesti mereka ketahui dan lakukan untuk mrnjadi sukses. Dalam satu sumber disebutkan, ada lima hal yang dilakukan oleh mereka dalam meraih sukses.

1. Mau mengambil resiko.
Orang sukses selalu berupaya untuk mencapai target, melakukan penghematan, membangun relasi dengan banyak orang dan gesit mencoba sesuatu yang baru guna mengikuti perkembangan zaman.

2. Percaya diri dan merasakan bahwa dirinya berbuat sesuatu untuk dunia.
Orang sukses memandang sebuah dunia yang besar dan ingin memainkan peranan penting didalamnya. Mereka tetap bekerja sesuai ketrampilan mereka, sambil tetap menyadari bahwa ketrampilan inti memberi nilai kepada ketrampilan lainnya. Mereka juga sadar, karya terbaik akan menghasilkan kompensasi bagi mereka.

3. Menikmati apa yang sedang mereka lakukan.
Orang sukses mampu melihat pekerjaan sebagai kesenangan, mereka memilih bekerja dimana mereka dapat unggul. Orang sukses menyukai tantangan, mereka menikmati pencapaian puncak permainan mereka, apakah dipekerjaan dll.

4. Memotivasi diri sendiri.
Orang sukses mempunyai bnyak cara untuk mrmotivasi diri sendiri sehingga dapat terus berkarya lebih baik dari orang lain. Ada yang dengan cara melakukan beberapa pekerjaan setiap hari pada bidang yang berbeda. Seorang pria setengah baya memotivasi dirinya sendiri dengan mencoba mendapatkan lebih banyak uang daripada kakaknya. Seorang wanita nerusia 29 tahun menjadi perawat top untuk menunjukkan kepada bekas gurunya bahwa dia memiliki ketrampilan dan kecerdasan memadai untuk mencapai profesi itu.

5. Tidak bekerja setengah-tengah.
Orang sukses menyelesaikan tugas tidak dengan setengah-setengah. Mereka menggunakan cara kreatif dalam meraih sukses. Meski mungkin membutuhkan waktu lebih lama, mereka akhirnya melampaui garis finis. Mereka memanfaatkan waktu dengan baik dalam mensinergikan kemampuan fisik dan mental untuk mencapai sukses.

Kamis, 21 Januari 2016

CERPEN



Kutemukan Kau dalam Istikharahku

 “Mari Bu.. Ibu mencari pakaian untuk anak Ibuk? Monggo saya bantu..”, kataku ditengah kesibukan melayani para pelanggan di butik tanteku. Sejak seminggu lalu aku bekerja di butik milik tanteku ini untuk mengisi waktu luangku selama liburan bulan Ramadhan. Aku memiliki banyak pengalaman sejak bekerja ditempat ini. Bagaimana cara melayani pembeli yang memiliki karakter serta emosi yang berbeda-beda, bagaimana cara “merayu” pembeli agar mereka tertarik pada pakaian yang kami tawarkan, serta tentunya bagaimana menahan emosiku sendiri. Pada awalnya memang sangatlah sulit menyesuaikan diri dengan keadaan kerja yang seperti ini, dimana aku harus berbicara yang sesungguhnya hiperbola tentang pakaian yang aku tawarkan agar para pengunjung butik tertarik. Sungguh jauh dari karakter diriku sebenarnya yang mungkin sebagian besar orang tahu bahwa aku ini sangatlah pendiam, but tidak untuk masalah pengetahuan. Aku termasuk siswi berprestasi di sekolah dan sering mengikuti beberapa lomba ilmiah dan olimpiade. Dan orang akan melihat tertegun jika melihat bagaimana aku yang dianggap pendiam bisa berbicara penjang lebar layaknya sales girl yang sering datang kerumah, bahkan orang tuaku pun kaget saat mereka mengunjungiku dan melihat aksiku melayani pembeli. Kata ibu, aku mirip robot yang baru saja dicharge. Hehehe...
Hari demi hari berjalan seperti biasa, melayani pembeli dengan persuasif. Hari ini adalah hari terakhir aku bekerja dibutik tante, karena besok adalah Hari Raya Idul Fitri, jadi hari ini adalah malam Takbiran. Sedikit ada rasa sedih karena tidak bisa berkumpul dengan keluarga dimalam yang special ini. Malam ini, butik sangat ramai dan penuh dengan pembeli hingga para pelayan kerepotan termasuk aku. Entah sudah berapa kali aku menguap karena rasa lelah yang menghantui. Dan entah berapa bungkus permen rasa asam yang aku makan untuk mengurangi rasa kantukku. Sayup-sayup terdengar suara tahlil,takbir dan tahmid dari masjid-masjid sekitar yang berkumandang dan saling bersahut-sahutan memuji keagungan-Nya. Hati ini tersentuh mendengar sekaligus mengagumi betapa agungnya Dia hingga seluruh alam ini ikut memuji-muji nama-Nya. Sambil melayani pembeli sering kali aku mengikuti suara-suara pujian tersebut dengan suara lirih. Waktu telah menunjukkan pukul 20.00. Artinya sebentar lagi iring-iringan takbiran akan dimulai. Sepintas aku melihat dua orang pemuda yang sedang melihat-lihat baju takwa. Aku menghampirinya, berniat untuk membantunya sekaligus mempromosikan merk terbaik.
“Permisi, ada yang bisa saya bantu?”, kataku dengan sopan.
“Ow ya, ini mbak saya mencari baju takwa. Kira-kira mbak bisa membantu saya memilih mana yang cocok untuk saya?”, sahutnya dengan tanpa melihatku.
“Sungguh sopan sekali lelaki ini, dia tak mau menatapku karena mungkin dia berfikir aku tidak halal baginya maka tak sepantasnya dia memandangku”, batinku.
Kedua lalaki ini jika aku perhatikan mereka adalah lelaki baik-baik. Terlihat dari cara berpakaiannya yang sangat sopan. Mereka mengenakan sarung dengan baju takwa dan tak lupa dengan kopyah. Namun entah kenapa perhatianku lebih tertuju pada lelaki yang memintaku memilihkan baju takwa untuknya. Ia juga mengenakan pakaian ala santri sebuah pesantren hanya saja ia mengenakan sebuah jaket berwarna coklat yang nampak cocok dengan tubuhnya.
“Astaghfirullah..”, segera kuberistighfar karena aku mulai mengagumi lelaki yang bukan muhrimku.
“Ada apa mbak? Ada yang salah dari kata-kata saya? Ngapunten nggeh Mbak..”, kata lelaki yang mengenakan jaket. Mungkin aku beristighfar terlalu keras hingga ia mendengarnya.
“Oh tidak Mas, tidak ada yang salah, saya hanya beristighfar saja”, jawabku cepat agar ia tak tersinggung.
“Subhanallah.. dalam keadaan ramai dan repot seperti ini mbak masih sempat beristighfar”, jawabnya mencairkan suasana. Namun aku tak menanggapinya.
“Baju yang ini sepertinya cocok untuk Mas!”, jawabku mengalihkan pembicaraan.
“Ow nggeh sepertinya bagus dan cocok untuk saya, bagaimana menurutmu Sul?”, sahutnya sambil meminta pendapat temannya yang dari tadi sibuk memilih baju pula.
Nggeh Mas, pilihan yang tepat!”, sahut temannya setuju.
Sedikit ada rasa lega dalam hatiku, ia menyukai pilihanku. Aku memilihkannya baju takwa warna coklat muda yang simple dengan sedikit bordir di dada. Entah mengapa aku merasa baju itu cocok untuknya.
“Baiklah, saya coba dulu baju ini”, sahutnya sambil berjalan ke kamar pas.

Setelah beberapa menit, ia kembali.
“Baju ini sangat cocok dan pas dibadan saya, terima kasih mbak”, sahutnya yang kali ini sedikit memberikan senyum yang menggetarkan hati.
Nggeh, sama-sama”, jawabku sambil terenyum pula.

Setelah membayar ke kasir, ia sempat menghampiriku yang sedang bercanda dengan pelayan lain sambil merapikan baju-baju yang berantakan akibat ulah pembeli.
“Terima kasih sudah membantu saya memilih baju yang cocok”, ucapnya sedikit mengagetkanku.
Nggeh, sama-sama. Semoga Masnya suka”, jawabku dengan ramah.
Aku sedikit bingung karena ia dan kawannya tidak lekas meninggalkan butik. Ia mencari sesuatu di dalam saku jaketnya dengan wajah kebingungan.
“Permisi, anda mencari sesuatu? Mungkin saya bisa membantu”, kataku dengan sopan.
“HP saya Mbak, tadi ada di saku tapi kok ndak ada ya?”, jawabnya sambil celingukan mencari disekeliling.
“Lho, mungkin jatuh di kamar pas saat Masnya mencoba baju tadi, coba saya lihat sebentar”, kataku sambil berlalu menuju kamar pas.
Sesampainya di kamar pas aku mencari HP tersebut, tapi hasilnya nihil. Aku segera kembali ketempat dimana ia menyapaku tadi.
“Maaf Mas, ndak ada di kamar pas, atau mungkin jatuh saat perjalanan kemari”, kataku.
“Ya mungkin seperti itu, saya ingin menghubungi ibu saya yang sedang belanja di supermarket. Saya ingin memberitahukan bahwa saya sudah selesai dan akan menjemputnya disana”, katanya sambil tetap mencari HP tersebut yang juga dibantu oleh rekannya.
“Kalau Mas mau, monggo pakai HP saya”, kataku sambil mengeluarkan Hp dari saku jeansku.
“Ndak Mbak terima kasih, masa dalam semalam saya dua kali merepotkan Mbak”, katanya menolak.
“Ndak apa-apa Mas, tidak merepotkan, semua sudah direncanakan oleh Allah. Monggo Mas pakai HP saya”, jawabku seraya menyerahkan Hpku padanya.
Ia menerimanya dan segera menghubungi ibunya.
“Ini mbak HP nya. Terima kasih banyak dan maaf sudah merepotkan”, ucapnya seraya mengembalikan HP ku.
Aku hanya membalas dengan senyum. Lalu ia segera pergi meninggalkan butik.

***
        Hari ini adalah hari yang sangat dinanti-nantikan seluruh umat Islam sedunia. Pada hari ini seluruh umat Islam merayakan kemenangan setelah melaksanakan puasa selama satu bulan penuh.
Pagi-pagi sekali aku dan keluargaku bersama-sama berangkat ke masjid untuk melaksanakan sholat Idul Fitri.
Sepulang dari masjid, seperti biasa kami sungkem dan saling meminta maaf. Air mata tak tertahankan, betapa banyak kesalahan yang aku perbuat terutama kepada orang tuaku. Entah berapa kali aku menyakiti hati mereka. Pada hari ini semua kesalahan dilebur dengan harapan kita menjadi manusia yang suci kembali, dan siap menjalankan ibadah lebih baik lagi setelah hari ini.
Sejak semalam aku sama sekali tidak menyentuh Hpku. Aku segera membukanya dan ternyata telah menumpuk pesan yang memenuhi inboxku. Semua berasal dari teman-teman dan sahabatku. Namun ada nomor yang tak kukenal. Segera kubuka pesan tersebut dan isinya..

..Assalamu’alaikum..Mbak, terima kasih atas bantuannya kemarin telah memilihkan baju yang cocok untuk saya. Baju itu sekarang sedang saya kenakan dan terlihat cocok kata ibu saya. Dan terima kasih pula atas HP yang Mbak pinjamkan kepada saya. Maaf sudah banyak merepotkan. Minal aidzin wal faidzin...

Aku sempat berfikir siapa orang yang mengirim pesan ini. Setelah ku ingat-ingat, ternyata lelaki yang semalam datang ke butik dan kupilihkan baju serta kupinjami Hpku.
Segera kubalas pesan itu..

..Wa’alaikumsalam..Nggeh Mas sama-sama. Sudah kewajiban saya sebagai pelayan untuk membantu pembeli. Minal aidzin wal faidzin..

Setelah membalas pesan tersebut, aku segera bersiap-siap untuk berangkat kerumah nenek dan berkumpul dengan sanak keluarga yang lain.

***

            Hari kedua Idul Fitri, teman-temanku datang. Saat kami sedang bergurau, tiba-tiba Hpku berdering. Segera aku mengambilnya dan ternyata panggilan masuk dari nomor yang tak ku kenal. Aku segera mengangat telephon yang masuk.
“Assalamu’alaikum..Maaf ini siapa?”, tanyaku.
“Wa’alaikumsalam..Saya Furqan, yang beberapa hari lalu ke butik dan meminjam Hp panjenengan”, suara dari jauh sana.
Aku sempat terdiam tapi segera menjawabnya.
“Oh. Maaf nomornya belum saya simpan karena belum tahu nama Masnya”, jawabku.
“Perkenalkan, nama saya Muhammad Furqan Al-Farizi, biasa dipanggil Furqan. Kalau boleh tahu nama Mbaknya siapa?”, pertayaannya yang sedikit mengagetkanku.
“Ehm... nama saya Zahra... Em.. Zahra Syifa’ul Qolbi”, jawabku.
“Mbak Zahra sedang sibuk? Maaf kalau saya mengganggu”, ucapnya.
“Tidak apa-apa, saya sedang berkumpul dengan teman-teman saya”, jawabku.
“Baiklah Mbak lanjutkan dulu saja, maaf  jika saya mengganggu. Lain waktu saya hubungi lagi kalau Mbak Zahra tidak keberatan”.
“Oh nggeh tentu saja tidak”, jawabku. Entah setan apa yang mempengaruhiku sehingga dengan mudahnya aku berkata tidak keberatan jika dia menghubungiku.
“Baiklah, terima kasih. Assalamu’alaikum..”
“Wa’alaikumsalam”, jawabku dengan sedikit bingung tentang apa yang baru saja terjadi. Namun tak lama kemudian aku bercanda kembali dengan teman-temanku. Mereka meledekku bahwa aku telah memiliki kekasih namun merahasiakannya dari mereka. Tapi kemudian aku menjelaskan kejadian sebenarnya.

***
            Hari demi hari berjalan seperti biasa. Dan saat ini aku telah masuk ke sebuah universitas swasta di Malang. Aku memilih Jurusan Sastra Inggris karena aku ingin sekali memperdalam bahasa inggrisku. Namun perkuliahan dimulai bulan depan sehingga aku menikmati sekali liburanku kali ini.
Hubunganku dengan lelaki itu juga semakin dekat. Ia sering menghubungiku. Dan entah mengapa akupun senang. Mungkin karena ia tidak seperti lelaki lain yang selalu berkata gombal kepada wanita. Dia apa adanya, dan yang paling membuatku senang, dia selalu mengingatkan tentang ibadahku. Sholatku selalu ia perhatikan, bahkan saat telephon pun kami tak pernah membicarakan hal yang jauh dari agama. Ia selalu menasihatiku dengan cara yang tidak seperti mengguruiku. Sejak mengenalnya, aku merasa kualitas ibadahku jauh lebih baik dari sebelumnya. Aku merasa lebih dekat dengat Sang Khalik.
Itulah yang membuatku senang berteman dengannya, ya..teman.

            Hubungan pertemanan kami terus berlanjut hingga satu tahun, ya malam ini adalah malam takbiran. Malam dimana Allah mempertemukan kami. Namun aku sudah tidak bekerja lagi di butik tante. Malam ini aku berkumpul bersama keluargaku, menghabiskan malam-malam dimana semua umat Islam memuji dan memuja keagungan-Nya.
Sedikit aku teringat satu tahun yang lalu saat pertama kali aku mengenalnya, lebih tepatnya bertemu dengannya. Teringat senyumannya dan pakaian yang ia kenakan yang sempat membuat hatiku terpikat. “Astaghfirullah...”, ucapku segera. Aku tidak boleh berlebihan seperti ini, pertemuanku dengannya hanya suatu kebetulan dan tidak boleh mengganggu fikiranku. Sesaat kemudian, Hpku berdering, rupanya ada pesan yang hinggap di inboxku.

..Assalamu’alaikum..dek Zahra.. Minal aidzin wal faidzin.. ucapan yang sama kuucapkan satu tahun yang lalu. Tidak terasa sudah satu tahun kita berteman, saling mengingatkan tentang ibadah dan kehidupan.  
Setelah setahun ini, apakah hubungan kita akan hanya sebatas teman? Tidak inginkah dek Zahra mengikat hubungan kita dalam Sunnah Rasulullah?...
Maaf jika aku lancang berkata seperti ini, tapi memang inilah kenyataannya. Aku mencintaimu, aku terpikat akan kecantikan akhlakmu. Aku mencintaimu bukan karena parasmu, tapi aku mencintaimu karena Allah..

Itulah message darinya yang sempat membuatku menitikkan air mata.

“Subhanallah...inikah maksud pertemuan dimalam takbiran itu Ya Rabb...”, batinku.
Aku tidak segera me-reply pesan darinya. Aku tidak tahu apa yang harus kutulis. Aku sedih namun juga bahagia. Aku takut karena aku rasa aku tak pantas untuknya, tapi aq tak tahu mengapa aku bahagia.

***
            Allahu Akbar..Allahu Akbar..Allahu Akbar... Laa ilaaha ilallahu Allahu Akbar... Allahu Akbar walillahilham.....
Seruan-seruan untuk memuji-Nya bergema dimana-mana. Ya, pagi ini adalah hari raya Idul Fitri. Aku segera bergegas berangkat ke masjid bersama keluargaku. Seapulang dari masjid, kami melaksanakan tradisi saat hari lebaran yakni saling memaafkan dan bersilaturrahim.
Selesai bersilaturrahim, aku segera melihat Hpku, entah kenapa aku sangat bersemangat. Mungkin aku mengharapkan pesan darinya. Namun harapanku pupus. Tak ada satupun pesan darinya. Yang ada hanyalah dari teman-teman dan sahabatku. Entah mengapa aku merasa sedikit kecewa. Aku fikir, apakah karena pesannya tak kubalas semalam, sehingga ia mengira aku tak menghiraukan perasaannya. Daripada aku su’udzan, segera kuhubungi dia. Namun sekali lagi aku kecewa, nomornya tak aktif. Aku berpikir positif dengan menganggap bahwa ia sedang sibuk.
            Hari ketiga Idul Fitri. Ia belum juga menghubungiku. Nomornya juga tidak aktif. Mungkin dugaanku benar, mungkin ia menganggap aku tak menghiraukannya sehingga ia menjauh dariku. “Ya Rabb, apa yang harus aku perbuat..Aku telah menyakitinya”, batinku.
Hari kelima, keenam dan ketujuh ia belum juga menghubungiku. Pupus sudah harapanku. Aku tak tahu apakah ini yang dinamakan patah hati. Aku hanya bisa diam dan menyerahkan semua pada Allah.
Malam harinya aku bangun untuk Qiyamul Lail. Aku bersimpuh dihadapan-Nya memohon ampunan atas segala dosaku serta orang tuaku. Sempat kusebut namanya saat aku memanjatkan do’a. Kemudian aku berdzikir hingga tertidur di atas sajadahku.
            Keesokan harinya, aku menemui ustadzahku dan menceritakan apa yang aku alami sehingga mengganggu fikiranku. Beliau menyuruhku melaksanakan shalat Istikharah untuk mendapatkan petunjuk Allah apakan memang akulah serpihan tulang rusuknya.
Malam harinya, kulaksanakan apa yang diperitahkan Ustadzahku. Dalam shalat tersebut kumemohon pada-Nya agar diberi petunjuk apakah ialah jodohku dan apa yang harus aku lakukan. Setelah berdoa untuk kedua orang tuaku, barulah aku berdo’a sesuai apa yang meresahkan hatiku.

“Ya Rabb..Hamba yang penuh dosa ini, memohon petujukmu. Hamba mohon tunjukkanlah pada hamba apakah lelaki itu yang Kau takdirkan untukku. Jika memang ia jodohku, aku mohon mudahkanlah segala urusan kami untuk menjalankan Sunnah Rasul-Mu. Namun jika ia bukan ditakdirkan untukku, kumohon berikan kelapangan hati bagi kami. Berikan pula ia jodoh yang shalehah, serta berikanlah aku jodoh yang sholeh dan lebih baik darinya, yang dapat membawaku menuju surga-Mu..Amiin...”

Tak terasa air mataku berjatuhan saat memanjatkan do’a tersebut. Segera kuusap air mataku dan aku lanjutkan dengan berdzikir hingga aku tertidur kembali.
Dalam tidurku tersebut aku bermimpi bertemu kakekku yang telah wafat. Ia membawa sebuah telur dan mendekatiku. Aku terkejut dan segera mencium tangannya. Kusampaikan bahwa keluarga sangat merindukannya. Kutanyakan pula apakah ia bahagia disana, ia hanya tersenyum. Kemudian kakek memberikan telur yang ada ditangannya kepadaku.
“Telur apa ini Kek?”, tanyaku dalam bahasa Jawa.
“Kupas saja telur itu, nanti kamu akan tahu”, jawab kakek.
Segera kukupas telur yang sudah matang itu. Aku terkejut sekali karena saat telah berada di telapak tanganku, telur itu seakan membawaku kedunia lain. Disuatu tempai yang hijau rimbun. Aku dan kakek duduk di sebuah bangku di bawah pohon yang rindang. Udaranya begitu sejuk.
Dari kejauhan sayup-sayup terdengar suara balita menangis, semua tertutup kabut sehingga mataku sulit menemukan asal suara itu. Kemudian tampaklah seorang anak laki-laki berusia sekitar 3 tahun. Ia menangis sambil memanggil ibunya.
“Ibu..Ibu...”, suaranya yang tidak terlalu jelas karena mungkin faktor usia sehingga ia belum dapat melafalkan kata-kata dengan sempurna. Sesaat kemudian muncul seorang wanita separo baya yang menghampirinya. Ia mengenakan hijab warna hijau dengan kerudung warna kuning yang nampak cocok dengannya. Ia segera menggendong anak tersebut, dan aku yakin pastilah ia ibunya. Anak tersebut berhenti menangis karena telah berada dalam dekapan ibunya. Namun betapa terkejutnya aku, karena saat ia membalikkan badan nampaklah wajahnya yang mirip bahkan menyerupai aku. Aku benar-benar bingung menyaksikan semua ini. Aku serasa menonton film dimana pemerannya adalah aku sendiri.
“Kakek, siapa wanita itu? Mengapa wajahnya mirip denganku?”, tanyaku pada kakek dengan penuh kebingungan.
“Itu memang kamu, itu adalah perwujudanmu dimasa depan.”, jawab kakek dengan tenang.
“Aku? Lalu siapa anak itu? Mengapa ia memanggilku Ibu?”, tanyaku semakin bingung.
“Ia anakmu, tentu saja ia memanggilmu Ibu”, jawab kakek dengan senyumannya.
Belum sempat aku bertanya lagi, datanglah seorang lelaki yang mengenakan sarung hitam dan baju taqwa putih, lengkap dengan kopyah hitam. Terlihat sangat berwibawa. Ia mendatangi wanita dan anak tersebut.
“Ayah..”, suara tersebut mengagetkanku. Anak yang digendong oleh wanita itu memanggil lelaki itu dengan sebutan ayah. Siapa dia? Apakah ia jodohku?
Lelaki itu terus menghampiri lalu menggendong putranya. Saat ia membalikkan badan, aku kembali terkejut.
“Masyaallah, Mas Furqan.”, ucapku terkejut semakin bingung.
“Ada apa nduk? Kamu mengenalnya? Apakah Allah sudah mempertemukan kalian?”, tanya kakek.
Nggeh Kek, saya mengenalnya sejak satu tahun yang lalu. Tapi apa maksud dari semua ini Kek? Apakah ia jodoh yang Allah takdirkan untukku?”, pertanyaanku yang bertubi-tubi membuat kakekku hanya tersenyum.
Nduk, kamu lihat sendiri kan wanita yang ada disana itu adalah kamu, dan anak itu adalah anakmu. Dan sudah pati lelaki itu ayah dari anakmu karena anak itu memanggilnya Ayah. Semoga Allah memudahkan urusan kalian”. Kata-kata itulah yang terakhir kakek ucapkan sebelum akhirnya aku terbangun karena ada tangan yang menggerak-gerakkan lenganku. Saat kubuka mata, ternyata ibuku.
Nduk, pindah ke tempat tidur sana, nanti badanmu pegal-pegal kalau tidur seperti ini”, suara lembut ibu yang kembali menyadarkanku bahwa yang kualami tadi adalah mimpi.

***
            Sejak mimpi itu aku sering melamun dan memikirkan hal ini. Aku tak menceritakannya kepada orang tuaku karena kurasa belum waktunya. Beberapa hari ini aku selalu teringat Mas Furqan. Namun aku berusaha mengalihkan fikiranku dengan menulis cerpen.
“Assalamu’alaikum..”, suara didepan pintu.
Aku segera menuju keruang tamu. Malam itu aku dan keluarga sedang bersantai dan menonton televisi.
“Wa’alaikumsalam.. Mas yang...”, kata-kataku tak kulanjutkan. Aku terkejut karena yang ada dihadapanku adalah Mas Furqan.
Nggeh, saya Furqan. Dan ini teman saya Samsul Arifin. Masih ingatkan? ”, jawabnya mengagetkanku.
“I..iya.. Mas kok tau rumah saya?”, tanyaku terbata.
“Ya tahu saja. Mungkin hati saya yang menuntun kemari. Ehmm..jadi kita bicara di depan pintu seperti ini?”, jawabnya setengah bergurau .
“Eh..maaf. Silahkan masuk.”
Kemudian mereka masuk dan segera duduk di sova merahku. Kami duduk saling berjauhan. Untuk beberapa saat kami terdiam. Aku tak tahu apa yag harus aku katakan. Mereka berdua juga diam. Hingga Hp yang aku genggam berdering.
“Aduuhh siapa sih mengirim pesan disaat situasi genting seperti ini”, batinku.
Segera kulihat dan ternyata satu pesan telah hinggap di inboxku. Setelah kulihat ternyata pesan darinya.

..Kok diam dek? Apakah kehadiran saya mengganggu? Jika memang kehadiran saya membuat dek Zahra sedih, saya pamit saja..

Begitulah pesan darinya.
Lalu segera kubalas secara langsung.
“Maaf, bukan seperti itu. Saya hanya bingung bagaimana Mas Furqan dan Mas Samsul mengetahui rumah saya. Dan lagipula beberapa hari ini nomor Mas Furqan tidak aktif. Saya fikir silaturrahim kita telah putus.”, jawabku panjang lebar.
“Baiklah, kami beberapa hari ini mencari informasi dari teman-teman dek Zahra di butik. Merekalah yang memberitahukan alamat rumah ini pada kami. Maaf kalau kedatangan kami mengejutkan. Kami hanya ingin silaturrahim. Dan untuk beberapa hari lalu saya tidak menghubungi panjenengan itu memang sengaja, agar dek Zahra dapat memikirkan dulu tentang apa yang saya katakan minggu lalu. Kalau bisa saya ingin jawabannya sekarang.”,jawabnya.
“Ehm.. maaf saya belum bisa menjawab sekarang.”, jawabku dengan menundukkan pandanganku.
“Ya sudah tak apa, saya akan menunggu lagi, semoga Allah mudahkan urusan kita.”, ucapnya seraya tersenyum.
“Amiin..”, jawab temannya.
Aku hanya bisa membalas senyumannya. Selanjutnya kami membicarakan hal di luar perasaan. Walaupun sebenarnya aku masih merasa tak enak. Pukul 19.40 mereka berpamitan pulang. Sepulang mereka dari rumahku, aku masuk ke kamar dan menangis disana. Aku merasa telah menyia-nyiakan petunjuk dari Allah. Namun aku melakukan ini bukan tanpa alasan. Aku tidak hidup sendiri di dunia ini. Aku memiliki orang tua yang pastinya harus aku mintai pendapat karena aku butuh Ridla dari beliau.
Malam ini aku kembali menengadahkan tanganku kepada-Nya seraya memohon petunjuk apa yang harus aku lakukan. Aku hanya mengharapkan yang terbaik untuk ketiga pihak, yaitu aku, dia dan keluargaku.

***
            Sebulan setelah Idul Fitri, semua berjalan seperti semestinya. Aku mulai disibukkan dengan jadwal-jadwal kuliah serta tugas yang mulai menghampiri. Semua aktivitasku ini rupanya mampu mengalihkan perhatianku darinya. Aku jarang sekali membalas pesan bahkan menerima telephon darinya. Entah mengapa aku merasa lelah dan ingin fokus pada studyku. Hingga akhirnya suatu malam ia mengirim pesan kepadaku. Pesan yang sidikit mengecewakanku.

..Assalamu’alaikum ya ukhti... Bagaimana kabarnya? Lama sekali tak kudengar suara ukhti yang senantiasa menjadi obat kegalauan hati. Seperti nama ukhti, Syifa yang artinya pengobat. Mungkin obat itu bukanlah untukku. Setelah sebulan lebih aku menanti jawaban dari ukhti ternyata beginilah, tak ada jawaban. Entah penerimaan atau penolakan. Dan aku ambil kesimpulan mungkin ukhti bukanlah pemilik serpihan tulang rusukku. Namun yang harus ukhti ketahui, pernyataanku sebulan yang lalu itu bukan hanya dari keinginanku sebagai manusia yang memiliki kodrat mencintai lawan jenis. Tapi karena istikharahku. Untuk itu aku mohon ukhti juga melaksanakan hal yang sama denganku. Biarlah istikharah ukhti yang menjadi petunjuk bagi kita. Semoga Allah mudahkan urusan kita. Amiin..

Aku menitikkan air mata membaca pesan darinya. Akhirnya aku putuskan untuk menceritakan yang sebenarnya.

..Wa’alaikumussalam ya akhina Furqan.. Maaf beberapa minggu ini saya sibuk dengan perkuliahan dan tugas yang menumpuk. Tapi insyaallah saya tidak lupa akan pernyataan akhi. Sebenarnya setelah akhi menyatakan perasaan akhi kepada saya, saya telah melaksanakan shalat istikharah. Saya mendapat petunjuk bahwa akhilah jodoh saya. Tapi maaf saya belum bisa menjawabnya karena saya dilanda kebingungan. Disisi lain saya tentu ingin menjalankan Sunnah Rasulullah, tapi disisi lain orang tua saya menginginkan saya menuntut ilmu hingga lulus S1. Saya bingung, siapakah yang harus saya dahulukan. Karena ridla orang tua adalah Ridla Allah. Saya tidak ingin durhaka dengan memaksakan kehendak saya. Mohon akhi mengerti. Saya tidak meminta akhi untuk menanti saya hingga saya lulus. Akhi boleh mencari pengganti saya. Namun perlu akhi ketahui, saya juga mencintai akhi karena Allah..

Itulah jawabanku atas pesannya. Beberapa menit kemudian Hpku berdering kembali. Rupanya ia membalas pesanku.

..Subhanallah.. Alhamdulillah.. Senang sekali rasanya hati ini membaca pesan dari dek Zahra. Sempat harapan saya pupus tapi sekarang mulai mekar kembali. Memang namamu seindah akhlakmu dek. Kaulah pengobat hatiku. Kaulah air yang membasahi keringnya jiwaku. Insyaallah aku akn bertahan menantimu, dan aku harap kaupun begitu. Kita serahkan semua pada Allah. Tak ada yang kebetulan di dunia ini, Aku yakin inilah hikmah pertemuan kita malam itu. Kita saling mendo’akan saja. Sungguh dek, aku sangat senang, aku langsung bersujud syukur setelah membaca pesan darimu. Semoga Allah memudahkan niat suci kita. Amiin.. Anna uhibbuka fillah..

Pesan itulah yang menjadi harapan serta semangat tersendiri bagi kami. Dan hingga saat ini, setelah 2 tahun kami saling mengenal kami masih saling menjaga diri serta hati. Ia selalu menasihatiku, mengingatkanku saat aku lalai dalam melaksanakan ibadah serta selalu membangunkanku untuk Qiyamul Lail setiap malam, dengan harapan Allah melancarkan serta memudahkan niat suci kami untuk melaksanakan Sunnah Rasul-Nya.

Terima kasih Ya Rabb telah mempertemukan kami. Terima kasih telah menghadirkannya dalam Istikharahku.

***

TAMAT
Oleh:  Indiani Eka Permatasari