Rabu, 24 Februari 2016

Senyummu Bahagiaku Wahai Ibu


Senyummu Bahagiaku


             
            Tak ada yang terasa menenangkan bagiku selain mendengar ayat-ayat Al-Quran yang dibacakan. Suaranya bahkan lebih indah dari suara musik. Mereka semua, murid ibuku, memang selalu datang saat malam hari untuk belajar mengaji pada ibuku. Aku sangat senang saat mereka datang, karena mereka datang untuk hal yang sangat mulia. Bagai tak peduli dengan rasa lelahnya, mereka datang, belajar, dan mengaji sampai mereka puas. Begitu juga dengan ibuku yang sudah seharian bekerja namun tetap meluangkan waktunya untuk membagikan ilmu agama yang ia punya. Ibuku bekerja sebagai penjahit, selain bekerja di tempat orang lain, Ibu juga menerima jahitan di rumah sendiri, hasilnya lumayan untuk tambah-tambah.
            Karena tak tega bila melihat Ibu mengajar sendirian, sedangkan yang mengaji sangatlah banyak, maka disetiap malam aku membantu Ibu untuk mengajar ngaji. Rasanya sangat senang bila bisa membantu Ibu mengajar ngaji, ini adalah sesuatu yang sangat mulia.
            Banyak murid, bukan berarti Ibu punya banyak uang dari gajinya mengajar ngaji, ibu mengajar ngaji atas nama Allah dan dengan didasari rasa ikhlas jadi Ibu sama sekali tak memungut biaya dari para muridnya. Dapat membagi ilmu, membuat orang lain pintar, dan terus berada di jalan Allah, bagi Ibu itu sudah lebih dari cukup, meski terkadang keadaan ekonomi cukup memprihatinkan. Tapi ternyata Allah itu Maha Adil, ia selalu memberikan rezeki kepada kami, Ia cukupkan apa yang kami butuhkan, karena terkadang ada saja orang tua dari murid Ibu yang secara ikhlas memberikan uang pada Ibu, uang itu mereka anggap sebagai uang terimaksih karena Ibu sudah mengajari anaknya mengaji.
            Bagiku Ibuku adalah segala-galanya bagiku, ia adalah satu-satunya keluarga yang kupunya, ia adalah Ibu sekaligus Ayah bagiku. Bayangkan saja seberapa sulitnya bila menjadi Ibuku, ketika ia mengandungku 6 bulan, Ayahku meninggal karena kecelakaan, semenjak itu Ibu harus berjuang melahirkanku, membesarkan serta menafkahiku hingga tak  terasa 15 tahun sudah Ibu melakukannya seorang diri. Suka duka sudah ia lewati seorang diri, namun tak pernah kulihat dirinya mengeluh pada keadaan yang ada, Ibu selalu mampu mensyukuri apa yang diberikan oleh Allah.
            Ibu yang mengajariku berbicara, berjalan, makan, duduk, berdoa, berwudhu, shallat, dan bagaimana caranya menjadi orang baik yang dapat dihargai oleh orang lain. Ia yang menyadarkanku saat aku hilaf, menuntunku saat aku kehilangan arah, membenarkanku saat  aku bersalah,  dan membangkitkanku saat aku  hampir  putus asa. Entah harus berapa kali aku mengucapkan terimakasih atas apa yang telah  ia lakukan untukku, dan harus berapa kali aku  memohon maaf atas kesalahan  yang  telah aku lakukan padanya hingga secara tak sengaja aku sudah menyakiti  hatinya.
            “Bu,udah malem, kenapa masih jahit?” tanyaku saat melihat Ibu yang masih menjahit meski jarum jam sudah menunjukan pukul 10.00 malam. Selesai mengajar  ngaji  bukan berarti tugas  Ibu  sudah  selesai, karena setelah mengajar ngaji Ibu masih harus menyelesaikan jahitannya.
            “Iya bentar lagi Sa, ini tanggung soalnya besok bajunya mau dipake yang punya!” jawab Ibu.
            “Yauda deh  Nisa belajarnya di sini aja ya? Sekalian  nemenin Ibu!” ucapku.
            “Eh jangan! Kamu di kamar aja, besok kan kamu harus  sekolah jadi lebih baik kamu tidur!” Ibu yang masih bisa melarangku.
            “Kalau Ibu sendirian, nanti ada setan loh…..” aku yang mencoba menggoda Ibu.
            Akhirnya Ibu tak dapat melarangku.
            Di depan Ibu, aku belajar dengan sesekali memperhatikan wajah Ibu yang aku rasa sudah mulai menua, sesekali aku berdiri dan  memijat pundak Ibu. Ibu selalu menolak saat aku ingin memijatnya, alasannya karena Ibu tak ingin merepotkanku dan tak ingin aku lelah, namun aku terus memaksa karena aku tahu kalau sebenarnya Ibu itu sangat lelah, hanya saja ia terus menyembunyikan rasa lelahhnya.
            Dan  di  depan Ibu pula aku tak kuat menahan rasa kantukku hingga akhirnya aku tertidur.
                                                                                    ***
            Mimpi dan cita-citaku sangatlah sederhana yaitu hanya ingin membahagiakan Ibu, sederhana adalah mimpi dan cita-citanya, yang tak sederhana adalah apa yang akan kugapai yang dapat membahagiakan Ibu. Menjadi desainer baju muslim, menjadi guru ngaji sama seperti Ibu, berkorban dengan uang sendiri, memangun toko kue juga butik yang di dalamnya terdapat baju desain aku sendiri, membangun masjid serta tempat mengaji, membangun asrama untuk anak yatim piatu juga anak jalanan, membangun sekolah, dan naik haji dan keliling dunia bersama Ibu. Asrama yang aku bayangkan bukanah hanya sekedar asrama yang dijadikan tempat tinggal, melainkan di dalamnya akan aku bangun tempat mengaji dan sekolah untuk mereka, sekolahnya pun bukan seperti sekolah umum, melainkan sekolah ketrampilan, mereka akan diajarkan caranya membuat kue serta kerjinan tangan bernilai ekonomis tinggi lainnya, diajarkan untuk menjadi penulis terkenal, aku juga akan mengembangkan bakat yang mereka punya misalnya bakat bermain alat musik juga menyanyi, dan bahkan aku akan memanggil guru bahasa inggris juga bahasa arab agar mereka lebih pintar. Tak hanya yang islam saja, aku juga akan menolong yang bukan islam, saat hari besar mereka datang aku takkan melarang mereka untuk merayakannya, karena aku pun sadar bahwa dalam hidup ini kita harus saling bertoleransi satu sama lain. Tujuanku mendirikan asrama adalah agar mereka yang tak terawat dapat tumbuh dengan cinta dan dapat menjadi orang yang sukses, aku takkan membiarkan mereka keluar dari asrama sebelum mereka sukses. Aku yang akan membantu mereka untuk menjadi orang sukses, bila tak ada orang tua maka aku yang akan menjadi tempat bersandar mereka. Aku tak pernah takut rugi atau pun miskin karena memberi mereka makan, membelikan mereka baju, membayar guru pengajar untuk mereka, dan hal yang lainnya, karena aku percaya bahwa sedekah takkan pernah mengurangi harta dan Allah akan selalu ada untuk membantuku.
Aku tahu tak mudah untuk mengubah mimpiku menjadi nyata, tak jarang juga aku ketakutan akan masa depanku meski  aku sudah menjadi murid terbaik di SMAku, tapi selagi ada Allah dalam hidupku, aku yakin bahwa aku akan mampu menggapai semua mimpiku itu.
            Shallat tahajud, shallat lima waktu tepat pada waktunya, bersedekah, berdoa, puasa senin kamis, dan tentunya juga usaha selalu aku lakukan agar semua mimpi yang ada menjadi nyata. Ibu yang mengajariku itu semua, berusaha disertai doa kata Ibu akan mempermudah kita untuk mendapatkan apa yang kita inginkan. Ibuku selalu mendukung apa yang kuimpikan, doanya tak pernah putus untukku.
                                                                                    ***
            Siang ini aku dan Ibu datang ke rumah tetangga menghadiri acara pengajian, pengajian itu dilakukan karena tetanggaku tersebut akan naik haji, senang rasanya saat melihat orang lain bisa pergi ke tanah suci. Dan ingin rasanya aku membawa Ibu ke tanah suci mekah melaksanakan salah satu perintah Allah, terlebih saat Ibu selalu menangis ketika melihat orang lain naik haji yang alasannya adalah tak lain dan tak bukan karena ia juga ingin naik haji. Bila dulu Ayah yang berjanji akan membawa Ibu ke tanah suci, maka setelah Ayah tiada, aku yang akan memegang janji itu dan aku berjanji bahwa aku akan menepatinya.
            “Kapan ya Ibu bisa naik haji?” tanya Ibu saat dalam perjalanan pulang menuju rumah.
            “Ya nunggu celengan Ibu penuh lah!” jawabku tertawa kecil.
            Ibu tersenyum melihatku.
            Dalam hati aku berbiacara “Nunggu Nisa sukses lah Bu!”
            Saat ini Ibu memang sedang menabung agar ia bisa naik haji, kemauannya itu sangatlah besar.
            Demi kesuksesan yang selalu aku harapkan, setiap waktu selalu aku sempatkan untuk belajar. Selain teman-teman di sekolah, buku juga menjadi temanku disaat aku merasa bosan juga kesepian. Aku juga selalu menyisihkan uang sakuku yang walau hanya 5000 sehari untuk aku masukan ke celenganku, terkadang juga aku pakai untuk ke warnet, maklum saja di rumah aku belum punya laptop atau pun komputer. Aku ke warnet bukan untuk main-main, melainkan untuk belajar, melalui warnet aku mulai belajar mendesain pakaian muslim, melalui warnet pula aku mengetahui banyak hal. Sebenarnya aku ingin sukses sebelum umurku menginjak 20 tahun, mustahil? Sepertinya….. Tapi aku akan mematahkan kata mustahil itu hingga akhirnya terciptalah NOTHING IS IMPOSSIBLE dalam hidupku, dan aku juga ingin menjadi desainer tanpa harus kuliah dulu, maka dari itu jika di rumah aku selalu mencoba mendesain pakaian muslim.
            Aku memang terlahir di keluarga miskin yang mungkin terkadang terhimpit masalah ekonomi, namun aku takkan menjadikan hal itu sebagai masalah, aku justru akan menjadikannya pacuan untuk aku menjadi sukses. Karena dengan kesuksesanku nanti aku akan membuat Ibu bangga, tersenyum, lalu Ibu tak perlu lagi susah payah menjahit, yah… meski sekarang Ibu juga sudah bangga padaku karena aku sudah menjadi anak yang baik untuknya.
                                                                                    ***
            “Wow… ini desain kamu sendiri?” tanya Reka, sahabat dekatku yang sudah bersahabat denganku sejak kelas 1 SMP.
            Aku mengangguk sambil tersenyum padanya.
            “Keren…. Jago banget nih kayaknya sekarang!” ucap Reka.
            Berbeda denganku, Reka ini adalah anaknya orang kaya, Papanya dokter dan Ibunya adalah pemilik beberapa cabang restoran. Meski kaya, Reka sama sekali tak sombong, Reka tak pernah membeda-bedakan dalam berteman, menurutnya kaya miskin bukan jadi masalah dalam pertemanan. Setiap hari di sekolah, aku selalu bermain bersama Reka.
            “Oh iya Re, cobain kue buatan aku yang ini dong!” tawarku ada Reka.
            Dengan sangat senang ia mencobanya, dan tak disangka-sangka ternyata ia suka dengan kue yang aku buat bahkan ia sampai “Aku beli semua kuenya, ya!” membeli semua kue yang kubawa. Padahal awalnya hanya menyuruhnya mencoba atau memakan secara gratis karena Reka selama ini sudah sangat baik padaku, tapi Reka malah membelinya.
            Empat kali dalam seminggu, aku memang selalu membuat kue dan menjualnya di sekolah, bila bukan di kelas maka aku akan menjualnya di kantin sekolah. Dan syukur Alhamdulillah, 3 toples kue yang kubawa hari ini langsung habis.
            Ada yang tak biasa saat aku pulang sekolah, rumah kecilku terlihat sangat ramai, namun saat aku dekati hanya ada dua orang yang tak kukenal dan Ibu saja, terlihat ramai karena dua orang itu secara tak jelas sedang marah-marah pada Ibuku.
            “Maaf bu, kenapa Ibu marah-marah sama Ibu saya ya?” tanyaku yang agaknya tak suka pada orang itu.
            Bukannya menjawab, ia malah menatap mataku, dan tanpa rasa bersalah pergi begitu saja.
            “Ada apa sih Bu?” tanyaku pada Ibu.
            “Mereka berdua adalah orang yang kemarin menjahit baju sama Ibu, hari ini mereka datang untuk mengambil bajunya, tapi saat mereka datang ada satu baju yang belum selesai Ibu pasang kancing.” Jawab Ibu.
            “Terus?” aku yang memotong pembicaraan Ibu.
            “Terus mereka malah marah dan malah engga mau ngambil bajunya……” sambung Ibu yang terlihat sedih.
            “Kok gitu sih Bu? Harusnya mereka engga gitulah Bu, dengan santainya mereka datang, memesan baju 15 pasang dan hanya memberikan Ibu waktu 2 minggu, setelah itu dengan santainya mereka engga mau ngambil juga bayar baju itu!” aku sangat emosi saat mendengar penjelasan Ibu.
            “Mereka itu orang atau apa sih Bu? Setan kali ya?” tanyaku. Aku ini memang termasuk orang yang gampang marah bila seseorang sudah berbuat yang melewati batas padaku atau pada Ibuku, dan terkadang akan sulit melupakan kesalahannya.
            “Udahlah Sa, jangan marah-marah, apa lagi sampai bilang begitu!” ucap Ibu mencoba menenangkanku.
            “Tapi Bu, bahan yang dipakai untuk buat baju kan beli bukan minta, Ibu aja udah mati-matian jahitnya bahkan sampai tengah malam!” sautku.
            Aku hanya berharap kalau orang itu segera sadar akan kesalahannya dan ia mau minta maaf pada Ibu, semoga juga ada sesuatu yang lebih indah dari hal ini.
                                                                                    ***
            “Sa…. Nisa……” panggil Reka dari belakang, bermaksud menyuruhku berhenti berjalan.
            “Kenapa Re?” tanyaku pada Reka yang terlihat sedang mengatur nafas.
            “Tante gue mau desain kamu!” jawabnya yang singkat tak dapat kumengerti.
            “Maksudnya?” aku yang merasa kurang jelas.
            “Iya, Tante pesan baju muslim yang kamu desain itu, katanya dia mau sama persis kayak yang ada di gambar!” jelas Reka.
            “Alhamdulillah….. makasih ya Re!” ucap Reka “Terus dia mau ngambil bajunya kapan?” dan tanyaku.
            “Katanya sih sekitar 2 minggu lagi soalnya mau dia pake ke acara nikahan temannya. Masalah harga kamu yang nentuin karena kata dia sih engga masalah harganya berapa aja.” Jawab Reka.
            “Makasih banget loh Re!” aku yang sepertinya tak bisa berhenti mengucapkan kata terimakasih pada Reka.
            “Iya sama-sama!” jawabnya sambil tersenyum.
            “Eh tapi kok Tante kamu bisa tau gambar itu?” tanyaku penasaran.
            “Hehehe maaf ya Re, gambarnya engga sengaja kebawa aku!” jawabnya, ternyata apa yang aku pikirkan memang benar.
            Terimakasih ya Allah karena Engkau sudah memberiku rezeki yang tak kusangka dari mana datangnya, secara tak sengaja desain baju muslim itu terbawa oleh Reka yang hingga akhirnya Tantenya tertarik untuk memesannya.
            Sepulang sekolah aku pun langsung pergi ke toko bahan pakaian bersama Ibu. Ibu mengaku kalauia merasa senang saat ada yang memesan baju, terlebih baju itu adalah desain aku sendiri.
                                                                                    ***
            Tiga tahun kemudian…….
            Entah harus berapa kali aku mengucapkan kata syukur pada Allah karena semenjak Tantenya Reka memesan baju itu, ia terus meminta desain yang terbaru bahkan ia juga mempromosikannya pada teman-temannya. Kini Ibu tak lagi bekerja di tempat orang lain karena kini kami yang mempekerjakan orang di tempat produksi pakaianku. Aku juga menjualnya melalui online, Alhamdulillah banyak yang menyukainya juga membelinya. Uang yang aku dapatkan itu aku gunakan untuk membangun toko kue, hingga sekarang toko kueku itu ramai dikunjungi.
            Kini aku sedang menabung untuk membangun asrama yang aku impi-impikan, tanahnya sudah kubeli, tinggal membangunnya saja, dan anak yatim piatu juga anak jalanannya juga sudahaku data. Bulan depan, aku bersama Ibu juga akan menjalankan ibadah haji, berkorban, dan beberapa hari kemudian kami akan liburan ke singapura juga Korea Selatan.Yah karena  Korea Selatan merupakan salah satu tujuan keliling duniaku.
Akhirnya apa yang selama ini aku impi-impikan menjadi nyata juga, apa yang agaknya sudah gila untuk dijadikan mimpi pada kenyataannya bukanlah hal yang gila, terbukti itu semua dapat menjadi kenyataan. Allah memang tak pernah ingkar janji, Ia akan menuruti kemauan umat-Nya bila umat-Nya itu memang benar-benar mau berusaha dan berdoa.  Aku rasa apa yang aku dapatkan ini juga berkat doa tulus Ibuku, doanya selalu bersama langkah kakiku.
Bila ada seseorang yang  bertanya “Apa yang kau cari dalam hidup ini?” padaku.
Maka aku akan menjawab “Bahagialah yang kucari, bahagia Ibu dan bahagia orang-orang yang tak mampu, aku rasa dengan kebahagian aku dapat menikmati hidup ini, tak hanya dunia tapi juga akhirat.”
“Akhirat?” tanyanya terlihat bingung.
“Iya akhirat, mereka anak-anak yang kurang kasih sayang dan tak mampu akan aku bantu menjadi orang yang sukses, sebagai imbalannnya akan takkan meminta materi, aku hanya meminta mereka membaca surat Yasin untuk Ayahku disetiap malam jumat agar Ayahku juga dapat merasakan kebahagiaan yang kudapatkan. Aku takkan melepaskan anak-anak itu sebelum mereka bisa sukses dan mandiri.” jawabku dengan lantang.
“Tidakkah kau takut miskin karena membantu mereka? Bukankah memberi makan serta merawat mereka itu memerlukan uang yang banyak?” tanyanya.
“Takkan pernah merasa takut, Allah takkan keliru dalam member rezeki pada umat-Nya, lagi pula menolong dan sedekah takkan menjadikan kita miskin.” Jawabku.
Kemudian bila ia bertanya lagi “Lantas apa yang kau kejar dalam hidupmu?” padaku.
Aku akan menjawab “Senyum dari Ibuku, aku ingin melihatnya tersenyum setiap saat, melupakan sejenak rasa pahit dalam hidup yang diterimanya, karena senyumnya adalah bahagiaku. Cukup sudah rasa sengsara yang dirasakannya itu, Ibuku selalu berjuang sendirian untukku, maka sekarang adalah giliranku membuatnya bahagia, meski aku juga tahu bahwa sebesar apa pun yang kulakukan untuknya takkan pernah bisa membayar atau mengganti apa yang telah ia lakukan untukku. Tujuan hidupku adalah mengejar kebahagiaan.”
                                                                        ***

Rabu, 17 Februari 2016

Indahnya Menjadi Santri




Dalam pola hidup pesantren yang yang terpenting bukanlah pelajaran semata-mata, melainkan juga jiwanya. Pondok pesantren sangat memperhatiakan pembinaan kepribadian melalui penanaman akhlak dalam tingkah laku. Bahkan menurut Kafrawi (1987), sebagaimana dikutip oleh Moh.Khoiron, melalui proses penanaman tata nilai Dan tata laku, pesantren berhasil mengidentifikasikan eksistensinya sebagai lembaga yang bercirikan :
a. Adanya hubungan yang erat akrab antara murid dan santri.
b. Pola interaksi subordinatif. Para santri harus tunduk pada Kiai Dan      menganggap bahwa menentang.
c. Pola hidup hemat dan sederhana Kiai selain tidak sopan juga menentang perintah agama.
d. Pola hidup mandiri.
e. Pola hidup suka menolong Dan hidup dalam suasana pergaulan Dan  persaudaraan.      
f. Pola hidup disiplin.
g. Pola hidup prihatin.
Pesantren merupakan tempat hidup bersama santri untuk belajar sosialisasi dengan kehidupan orang lain, melatih kemandirian, menumbuhkan sikap gotong royong dan kebersamaan meskipun bersal dari berbagi daerah yang berbeda-beda. Kehidupan santri tercermin dalam delapan tujuan pondok pesantren, sebagaimana dikemukakan oleh Ahmad Tafsir sebagai berikut.
(1) Mempunyai kebijaksanaan menurut ajaran Islam.
(2) Memiliki kebebasan yang terpimpin.
(3) Berkemauan mengatur diri sendiri.
(4) Memiliki rasa kebersamaan yang tinggi.
(5) Menghormati yang tua, guru dan para santri.
(6) Cinta kepada ilmu.
(7) Mandiri.
(8) Kesederhanaan.
Selaras dengan itu, Prof. Mukti Ali mengidentifikasikan beberapa karakteristik yang menjadi ciri khas pola hidup pesantren adalah sebagi berikut:
(1) Adanya hubungan yang akrab antar santri dan kiai, (2) tunduknya santri kepada kiai, (3) hidup hemat dan sederhana benar-benar dilakukan di epsantren, ( 4) semangat tolong menolong amat terasa di kalangan santri, (5) berjiwa persaudaraan sangat mewarnai pergaulan pesantren, (6) disiplin tinggi, (7) berani menderita untuk mencapai tujuan dan (8) kehidupan agama yang baik dapat diperoleh di pesantren.
Demikianlah kehidupan santri yang sangat unik dengan segala karakteristiknya, adanya keberanian, kebersamaan, gotong royong, tolong menolong, disiplin tinggi dan sebagainya. Dengan ini diharapkan mampu menjadi manusia yang tidak termakan oleh zaman, akan tetapi mampu merespons setiap perkembangan zaman.

Rabu, 10 Februari 2016

Puisi


Sang Penerus Perjuangan

Setitik benak memang tak seberapa
Setangkai kata mungkin tak bermakna
Namun hati ini mulai mengurat garis simpati
Ketegaranmu menakhlukkan waktu
Kecekatanmu menghancurkan banyak tikungan hidup
Kesabaranmu meluluhkan sanubari
Hamper habisnya masa bakti ini
Menyimpulkan banyak kesimpulan
Menghasilkan seuntai keputusan
Izinkan aku melamarmu fisabilillah
Menjadikanmu khalifah di lembaga ini
Perbaikilah yang sudah terlanjur salah
Pertahankanlah yang memang sudah benar
Jadilah polisi untuk mentertibkan setiap masalah
Korbankanlah setitik keringatmu
Demi meneguhkan ukhuwah islamiah ini

Oleh : Az_izah

Minggu, 31 Januari 2016

Cerpen



Pahit Manisnya menjadi Santri

Bagi teman-teman yang pernah merasakan kehidupan di pesantren tentunya terkadang merasakan indahnya hidup di pesantren. Ada suka dan ada duka, hidup berjama'ah dengan teman-teman. Merasakan indahnya kebersamaan, makan bersama, tidur bareng, sholat berjamaah, belajar bareng dan seabrek kegiatan yang sudah ditetapkan oleh pesantren. Ketika pagi menjelang jam 03.00 kegiatan pesantren sudah mulai muncul aktivitasnya, ada yang sholat tahajjud, ada yang sudah mandi, ada yang tadarrus , belajar, bahkan masih ada yang tidur, dan berbagai macam aktivitas yang layakynya dilakukan oleh seorang santri. Memang kehidupan dipesantren dapat membuka wacana seseorang tentang bagaimana seharusnya menjalani kehidupan tanpa keegoisan semata, ketika ada sahabatnya sakit bersama-sama membantu, mencucikan baju, menjaganya sampai merawatnya hingga sembuh. Subhanallah, benar-benar indah bukan??
Ketika shubuh menjelang, bersama-sama sholat shubuh berjamaah, kemudian dilanjutkan dengan tadarrus , lantas piket membersihkan pesantren agar nampak indah dan bersih. Selepas itu mandi dan ke sekolah. Ketika sore menjelang, kembali kita menyibukkan diri untuk tetap mengingat Allah, sholat magrib, tahsin, kajian dan belajar. Akan tetapi, terasa lebih indah apabila semua itu dilaksanakan semata-mata untuk mencari ridho Allah. Seberapapun amal kita apabila dilakukan dengan niat "tabarruj" maka tidak ada berkahnya. Bukan pahala yang didapat. Satu hal yang membuat aku menjadi bertahan dipesantren adalah sikap zuhud dan kekeluargaannya yang bikin aku betah. Sewaktu pertama kali aku tinggal dipesantren benar-benar dech.... Serasa berada di "dunia lain", aku yang tak biasa makan bersama dalam 1 piring, aku yang tak biasa mencuci baju sendiri, aku yang tak biasa mengepel lantai,nyapu, buang sampah,membersihkan kamar mandi (piket), merasakan ini benar-benar sebuah paksaan.
 Tetapi setelah 1 tahun aku tinggal dipesantren aku baru bisa merasakan betapa nikmatnya hidup di pesantren. Seakan selalu mengingat akhirat dan berlomba-lomba dalam kebaikan. Insya Allah.... Namun, dibalik semua itu tidak semua anak yang dimasukkan oleh orang tuanya ke dalam pesantren adalah anak yang benar-benar baik, ada juga anak yang memang "nakal" dan tujuan orangtuanya memasukkan ke dalam pesantren adalah agar  dapat terwarnai oleh teman-temannya yang sholeh-sholehah. Bukan malah terwarnai santri “nakal” akan tetapi kadang-kadang kehadiran santri "bengal" ini justru mewarnai teman-temannya agar menjadi "nakal" seperti dirinya. Dan aku merasakannya di dunia pesantren ini, ada aja ulah santri yang terkadang hampir-hampir saja aku ikut terjerumus. tanpa rasa takut ada aja yang dengan bangga menyanyikan lagu-lagu yang "kurang sopan" seperti reggae dan lain-lain. Ada yang suka jailin  duh.... duh..... cape dah. Adalagi yang selalu saja menyalahkan teman-temannya, menganggap dirinya paling benar, ada juga yang merasa dirinya paling cantik, paling imut dan paling bersih padahal kalau kita berkunjung kerumahnya aja ups... kotor bin kumuh. Ada lagi yang selalu mencari-cari kesalahan oranglain..... ada yang cuek, ada yang suka membuang sampah sembarangan (bisa-bisanya makan lantas sampahnya diletakkan disamping kasurnya ughhh), yang lebih parah dunia pesantren identik dengan kudis dan "kutu" kalau satu santri udah kena pasti dijamin yang lain akan kena waduh ngeri.......... ada -ada saja kejadiannya. yah inilah kehidupan pesantren kita harus bisa membedakan yang baik dan yang benar. Karena semua itu adalah proses kita sebagai manusia dalam hidup. Salam Pesantren :)

Oleh : az_izah



Artikel



NILAI SEBUAH WAKTU



Untuk memahami nilai SATU TAHUN, tanyalah kepada murid yang tidak naik kelas.

Untuk memahami nilai SATU BULAN, tanyalah kepada ibu yang melahirkan bayi premature.

Untuk memahami nilai SATU MINNGU, tanyalah kepada editor sebuah Koran mingguan.

Untuk memahami nilai SATU JAM, tanyalah seseorang yang hendak ditemui kekasihnya.

 Untuk memahami nilai SATU MENIT, tanyalah kepada orang yang ketinggalan kereta api.

Untuk memahami nilai SATU DETIK, tanyalah kepada orang yang lolos dari kecelakaan.

Untuk memahami nilai SATU MILIDETIK, tanyalah kepada orang yang memenangkan medali perak dalam olimpiade.

Hargailah setiap detik yang kau miliki! Ingatlah, waktu tidak menungu siapapun. Kemarin adalah sejarah, esok adalah misteri, hari ini adalah karunia.